Selasa, 26 April 2011

politik dan hukum di Indonesia


I.                   Pendahuluan
Law is a command of the Lawgiver (hukum adalah perintah dari penguasa), dalam arti perintah dari mereka yang memiliki kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan. Demikian John Austin, seperti dikutip oleh Prof Lili Rasyidi. Perdebatan mengenai hububngan hukum dan politik memiliki akar sejarah panjang dalam ilmu hukum. Bagi kalangan penganut aliran positivisme hukum seperti John Austin, hukum adalah tidak lain dari produk politik atau kekuasaan. Pada sisi lain, pandangan berbeda datang dari kalangan aliran sejarah dalam ilmu hukum, yang melihat hukum tidak dari dogmatika hukum dan undang-undang semata, akan tetapi dari kenyataan-kenyataan sosial yang ada dalam masyarakat dan berpandangan bahwa hukum itu tergantung pada penerimaan umum dalam masyarakat dan setiap kelompok menciptakan hukum yang hidup.

Hukum

Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan. dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum pidana yang berupayakan cara negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi hukum menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan di mana mereka yang akan dipilih. Administratif hukum digunakan untuk meninjau kembali keputusan dari pemerintah, sementara hukum internasional mengatur persoalan antara berdaulat negara dalam kegiatan mulai dari perdagangan lingkungan peraturan atau tindakan militer. filsuf Aristotle menyatakan bahwa "Sebuah supremasi hukum akan jauh lebih baik dari pada dibandingkan dengan peraturan tirani yang merajalela."

Bidang hukum

Hukum dapat dibagi dalam berbagai bidang, antara lain hukum pidana/hukum publik, hukum perdata/hukum pribadi]], hukum acara, hukum tata negara, hukum administrasi negara/hukum tata usaha negara, hukum internasional, hukum adat, hukum islam, hukum agraria, hukum bisnis, dan hukum lingkungan.

Politik

Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara.Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.
Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional.
Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain:
  • politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles)
  • politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara
  • politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat
  • politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.


II.                 Pengaruh Politik Dalam Pembentukan Hukum di Indonesia

A.    Peranan Struktur dan Infrastruktur Politik
Menurut Daniel S. Lev, yang paling menentukan dalam proses hukum adalah konsepsi dan struktur kekuasaan politik. Yaitu bahwa hukum sedikit banyak selalu merupakan alat politik, dan bahwa tempat hukum dalam negara, tergangtung pada keseimbangan politik, defenisi kekuasaan, evolusi idiologi politik, ekonomi, sosial, dan seterusnya (Daniel S. Lev, 1990 : xii).
Walaupun kemudian proses hukum yang dimaksud tersebut di atas tidak diidentikan dengan maksud pembentukan hukum, namun dalam prateknya seringkali proses dan dinamika pembentukan hukum mengalami hal yang sama, yakni konsepsi dan struktur kekuasaan politiklah yang berlaku di tengah masyarakat yang sangat menentukan terbentuknya suatu produk hukum. Maka untuk memahami hubungan antara politik dan hukum di negara mana pun, perlu dipelajari latar belakang kebudayaan, ekonomi, kekuatan politik di dalam masyarakat, keadaan lembaga negara, dan struktur sosialnya, selain institusi hukumnya sendiri.
Pengertian hukum yang memadai seharusnya tidak hanya memandang hukum itu sebagai suatu perangkat kaidah dan azas-azas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tetapi harus pula mencakup lembaga (institutions) dan proses (process) yang diperlukan untuk mewujudkan hukum dalam kenyataan (Lihat Mieke Komar at. al, 2002 : 91).
Seperti telah diuraikan dalam bagian terdahulu bahwa teori-teori hukum yang berpengaruh kuat terhadap konsep-konsep dan implementasi kehidupan hukum di Indonesia adalah teori hukum positivisme. Pengaruh teori ini dapat dilihat dari dominannya konsep kodifikasi hukum dalam berbagai jenis hukum yang berlaku di Indonesia bahkan telah merambat ke sistem hukum internasional dan tradisional (Lili Rasjidi, SH., 2003 : 181). Demikian pula dalam praktek hukum pun di tengah masyarakat, pengaruh aliran poisitvis adalah sangat dominan. Apa yang disebut hukum selalu dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan, di luar itu, dianggap bukan hukum dan tidak dapat dipergunakan sebagai dasar hukum. Nilai-nilai dan norma di luar undang-undang hanya dapat diakui apabila dimungkinkan oleh undang-undang dan hanya untuk mengisi kekosongan peraturan perundang-undang yang tidak atau belum mengatur masalah tersebut.
Pengaruh kekuatan-kekuatan politik dalam membentuk hukum dibatasi ruang geraknya dengan berlakunya sistem konstitusional berdasarkan checks and balances, seperti yang dianut Undang-Undang dasar 1945 (UUD 1945) setelah perubahan. Jika diteliti lebih dalam materi perubahan UUD 1945 mengenai penyelenggaraan kekuasaan negara adalah mempertegas kekuasaan dan wewenang masing-masing lembaga-lembaga negara, mempertegas batas-batas kekuasaan setiap lembaga negara dan menempatkannya berdasarkan fungsi-fungsi penyelenggaraan negara bagi setiap lembaga negara. Sistem yang demikian disebut sistem “checks and balances”, yaitu pembatasan kekuasaan setiap lembaga negara oleh undang-undang dasar, tidak ada yang tertinggi dan tidak ada yang rendah, semuanya sama di atur berdasarkan fungsi-fungsi masing-masing.
Dengan sistem yang demikian, memberikan kesempatan kepada setiap warga negara yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya oleh produk politik dari instutusi politik pembentuk hukum untuk mengajukan gugatan terhadap institusi negara tersebut. Dalam hal pelanggaran tersebut dilakukan melalui pembentukan undang-undang maka dapat diajukan keberatan kepada Mahkmah Konstitusi dan dalam hal segala produk hukum dari institusi politik lainnya dibawah undang-undang diajukan kepada Mahkamah Agung.

B. Pengaruh Kelompok Kepentingan dalam Pembentukan Hukum
Di luar kekuatan-kekuatan politik yang duduk dalam institusi-instusi politik, terdapat kekuatan-kekuatan lainnya yang memberikan kontribusi dan mempengaruhi produk hukum yang dilahirkan oleh institusi-institusi politik. Kekuatan tersebut berbagai kelompok kepentingan yang dijamin dan diakui keberadaan dan perannya menurut ketentuan hukum sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, seperti kalangan pengusaha, tokoh ilmuan, kelompok organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, tokoh agama, lembaga swadaya masyarakat dan lain-lain. Bahkan UU. R.I. No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Per-Undang-Undangan, dalam Bab. X menegaskan adanya partisipasi masyarakat yaitu yang diatur dalam Pasal 53 : “Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan Rancangan Undang Undang dan Rancangan Peraturan Daerah.”
Kenyataan yang perlu disadari, bahwa intensnya pengaruh tuntutan masyarakat terhadap pembentukan hukum dan lahirnya keputusan-keputusan hukum dapat terjadi jika tuntutan rasa keadilan dan ketertiban masyarakat tidak terpenuhi atau terganggu Karena rasa ketidakadilan dan terganggunya ketertiban umum akan memicu efek opini yang bergulir seperti bola salju yang semakin besar dan membahayakan jika tidak mendapat salurannya melalui suatu kebijakan produk hukum atau keputusan yang memadai untuk memenuhi tuntutan masyarakat tersebut.

C. Sistem Politik Indonesia
Beberapa prinsip penting dalam sistem politik Indonesia yang terkait adalah sistem yang berdasarkan prinsip negara hukum, prinsip konstitusional serta prinsip demokrasi. Ketiga prinsip ini saling terkait dan saling mendukung, kehilangan salah satu prinsip saja akan mengakibatkan pincangnya sistem politik ideal yang dianut. Prinsip negara hukum mengandung tiga unsur utama, yaitu pemisahan kekuasaan  - check and balances - prinsip due process of law, jaminan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan jaminan serta perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Prinsip konstitusional mengharuskan setiap lembaga-lembaga negara pelaksana kekuasaan negara bergerak hanya dalam koridor yang diatur konstitusi dan berdasarkan amanat yang diberikan konstitusi.
Dengan prinsip demokrasi partisipasi publik/rakyat berjalan dengan baik dalam segala bidang, baik pada proses pengisian jabatan-jabatan dalam struktur politik, maupun dalam proses penentuan kebijakan-kebijakan yang diambil oleh berbagai struktur politik itu. Karena itu demokrasi juga membutuhkan transparansi (keterbukaan informasi), jaminan kebebasan dan hak-hak sipil, saling menghormati dan menghargai serta ketaatan atas aturan dan mekanisme yang disepakati bersama.
Dengan sistem politik yang demikianlah berbagai produk politik yang berupa kebijakan politik dan peraturan perundang-undangan dilahirkan. Dalam kerangka paradigmatik yang demikianlah produk politik sebagai sumber hukum sekaligus sebagai sumber kekuatan mengikatnya hukum diharapkan – sebagaimana yang dianut aliran positivis – mengakomodir segala kepentingan dari berbagai lapirsan masyarakat, nilai-nilai moral dan etik yang diterima umum oleh masyarakat. Sehingga apa yang dimaksud dengan hukum adalah apa yang ada dalam perundang-undangan yang telah disahkan oleh institusi negara yang memiliki otoritas untuk itu. Nilai-nilai moral dan etik dianggap telah termuat dalam perundang-undangan itu karena telah melalui proses partisipasi rakyat dan pemahaman atas suara rakyat. Dalam hal produk itu dianggap melanggar norma-norma dan nilai-nilai yang mendasar yang dihirmati oleh masyarakat dan merugikan hak-hak rakyat yang dijamin konstitusi, maka rakyat dapat menggugat negara (institusi) tersebut untuk mebatalkan peraturan yang telah dikeluarkannya dan dinyatakan tidak berlaku. Dengan demikian nilai moral dan etik, kepentingan-kentingan rakyat yang ada dalam kenyataan-kenyataan sosial tetap menjadi hukum yang dicita-citakan yang akan selalui mengontrol dan melahirkan hukum positif yang baru melalui proses perubahan, koreksi dan pembentukan perundangan-undangan yang baru.
III. Kesimpulan
Memahami hukum Indonesia harus dilihat dari akar falsafah pemikiran yang dominan dalam kenyataanya tentang pengertian apa yang dipahami sebagai hukum serta apa yang diyakini sebagai sumber kekuatan berlakunya hukum. Dari uraian pada bagian terdahulu, tidak diragukan lagi bahwa apa yang dipahami sebagai hukum dan sumber kekuatan berlakunya hukum sangat dipengaruhi oleh aliran positivisme dalam ilmu hukum yang memandang hukum itu terbatas pada apa yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan atau yang dimungkinkan berlakunya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, bahkan aliran ini akan terus mengokohkan dirinya dalam perkembagan sistem hukum Indonesia ke depan. Adapun nilai-nilai moral dan etika serta kepentingan rakyat dalam kenyataan-kenyataan sosial di masyarakat hanya sebagai pendorong untuk terbentuknya hukum yang baru melalui perubahan, koreksi serta pembentukan peraturan perundang-undangan yang baru.


DAFTAR PUSTAKA

  • 1. Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Cet. II, Penerbit Gunung Agung, Jakarta, 2002.
  • 2. Daniel S. Lev, Hukum Dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, Cet I, LP3S, Jakarta, 1990.
  • 3. Lili Rasyidi & Ira Rasyidi, Pengantar Filsafat dan Teori Hukum, Cet. ke VIII, PT Citra Adtya Bakti, Bandung 2001.
  • 4. —————————–, Pengantar Filsafat Hukum, Cet. III, CV Mandar Maju, Bandung, 2002.
  • 5. Bushar Muhammad, Asas_Asas Hukum Adat, Suatu Pengantar, Cet. ke 4, Pradnya Paramita, Jakarta, 1983.
  • 8. Otje Salman, Teori Hukum, Mengingat Mengumpulkan dan Membuka Kembali, PT Refika Aditama, Bandung, 2004.
  • 9. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cet. ke 27, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005.
  • 10. Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Cet. I, Konstitusi Press, 2005.
  • http://hamdanzoelva.wordpress.com/2008/02/20/hukum-dan-politik-dalam-sistem-hukum-indonesia/
  • http://id.wikipedia.org
  • http://www.scribd.com/doc/8878173/Hukum-Dan-Politik-Dalam-Sistem-Hukum-IndonesiaSudirmanPublished

Jumat, 08 April 2011

SARA (SUKU, AGAMA, RAS, DAN ANTAR GOLONGAN)

Istilah SARA mencuat dalam beberapa perbincangan, terkait kisruh pengakuan atas keyakinan Ahmadiyah. Namun, pemahaman mengenai istilah yang amat populer semasa Orde Baru (Orba) ini, masih sulit ditemui.
Sara Dapat Digolongkan Dalam Tiga Katagori :
• Individual : merupakan tindakan Sara yang dilakukan oleh individu maupun kelompok. Termasuk di dalam katagori ini adalah tindakan maupun pernyataan yang bersifat menyerang, mengintimidasi, melecehkan dan menghina identitas diri maupun golongan.
• Institusional : merupakan tindakan Sara yang dilakukan oleh suatu institusi, termasuk negara, baik secara langsung maupun tidak langsung, sengaja atau tidak sengaja telah membuat peraturan diskriminatif dalam struktur organisasi maupun kebijakannya.
• Kultural : merupakan penyebaran mitos, tradisi dan ide-ide diskriminatif melalui struktur budaya masyarakat.
Keberagaman agama dan budaya diakui, namun masyarakat tidak dipupuk kemampuannya untuk hidup dalam perbedaan secara jernih, toleran, dan damai. Bhinneka Tunggal Ika lebih banyak dipahami secara simbolis melalui lambang-lambang kedaerahan, seperti baju tradisional, senjata adat, dan alat musik, yang ditonjolkan dalam berbagai acara kenegaraan dan wisata.
Di masa Orde Baru, persatuan dan kesatuan dijaga melalui kebijakan anti SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan) dalam tatanan politik yang sentralistik. Orde Baru menyebut Pancasila sebagai “ideologi bukan ini, bukan itu”, terus menjadikannya sebagai “ideologi yang bukan-bukan”. Penguasa sering mencap “anti Pancasila” terhadap pihak-pihak yang mengkritisi dan menentang kekuasaannya. Kategori ekstrim kiri dan ekstrim kanan diberlakukan.
Akar konflik.
Selain latar belakang SARA, hal lainnya yang menarik disimak dari tulisan Prasetyo ialah ilustrasi akar pohon yang menggambarkan keberadaan konflik di tiga zaman pemerintahan Indonesia: Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi.
Konflik Laten
> Konflik disembunyikan
> Sumber konflik direpresi
Konflik terbuka
> konflik dibiarkan
> Sumber konflik tak disentuh

Nah, sekarang kita bisa tahu bahwa sejatinya SARA itu adalah warisan aset dari masa pemerintahan sejak zaman Orde Lama. Dikelola di Orde Baru. Dan tetap bersemayam di era reformasi. Namu, kalau menggali ke akar yang lebih dalam, konflik ini sendiri merupakan bentuk agenda politik penjajah Belanda dalam memecah belah bangsa kita.
Contoh :
PERAN TOKOH AGAMA DALAM MENCEGAH DAN MENGATASI KONFLIK HORIZONTAL BERNUANSA SARA (Suku, Agama, Ras & Antar golongan)
Dari berbagai diskusi dan pendapat para pakar konflik dinyatakan bahwa akar konflik atau kekerasan yang ada di tanah air ini dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu konflik horizontal dan konflik vertikal. Konflik horizontal adalah konflik antar sesama masyarakat (seperti garis horizontal yang sejajar), sedangkan konflik vertikal adalah konflik antara pengusa dan rakyat/masyarakat (seperti garis vertikal yang tegak lurus). Kedua akar konflik tersebut setidaknya bersumber dari banyak muara yakni masalah-masalah social yang melatarbelakanginya seperti ketidakadilan, kemiskinan, kesenjangan sosial, konflik agama dan etnis serta perbedaan pandangan politik Dan konflik horizontal dan vertikal, saling memberikan amunisi. Ketika konflik horizontal terjadi, konflik vertikal memberikan api. Dan saat konflik horizontal terjadi, elit-elit memanfaatkannya, demikian seterusnya.
Namun konflik horizontal yang ada di Indonesia sering disebabkan dan bernuanasa SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar golongan). Hal itu disebabkan oleh kondisi masyarakat Indonesia yang heterogen dan pluralis yang terdiri dari berbagai macam suku, agama, ras dan golongan. Contoh konflik antar suku seperti perang antar suku di papua beberapa bulan yang lalu. Konflik antar agama sebagaimana yang terjadi di Ambon dan Poso beberapa tahun yang lalu Islam Vs Kristen) atau antara umat satu agama seperti konflik antara NU dan HTI beberapa bulan lalu atau antara Islam dan Ahmadiyyah (jika Ahmadiyyah dianggap Islam seperti pengakuan para pengikutnya) atau antara Sunni dan Syi’ah. Konflik antar Ras, misalnya perang antara etnis Melayu dan Dayak di Sambas beberapa tahun lalu. Adapun contoh konflik antar golongan seperti tawuran dua desa di Jawa Barat atau di Nusa Tenggara. Dan masih banyak contoh lagi.
Dan baru-baru ini seperti diberitakan oleh http://www.suarapembaruan.com/News/2007/12/15 bahwa PGI (Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia) dan KWI (Konferensi Waligereja Indonesia) melapor ke Komnas HAM, tercatat 108 kasus penutupan, penyerangan dan pengrusakan gereja terjadi sejak 2004-2007. Dengan rinciannya, pada tahun 2004 terdapat 30 kasus, 2005 ada 39 kasus, 2006 ada 17 kasus dan 2007 ada 22 kasus. Adapun provinsi yang terbanyak terjadi kasus-kasus tersebut adalah Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Poso dan Bengkulu.
Atau konflik-konflik yang terjadi karena kristenisasi dan pemurtadan di Indonesia sejak zaman penjajahan sampai sekarang dan yang sempat ramai adalah kasus kristenisasi di Padang Sumbar pada tahun 1999. Belum lagi konflik sebab penistaan suatu agama seperti yang terjadi di Batu beberapa bulan lalu.


sumber:
http://blog.uin-malang.ac.id/baraja/2011/03/12/peran-tokoh-agama-dalam-mencegah-dan-mengatasi-konflik-horizontal-bernuansa-sara-suku-agama-ras-antar-golongan/
http://artofbo.wordpress.com/2011/02/28/suku-agama-ras-antar-golongan/