Jumat, 08 April 2011

SARA (SUKU, AGAMA, RAS, DAN ANTAR GOLONGAN)

Istilah SARA mencuat dalam beberapa perbincangan, terkait kisruh pengakuan atas keyakinan Ahmadiyah. Namun, pemahaman mengenai istilah yang amat populer semasa Orde Baru (Orba) ini, masih sulit ditemui.
Sara Dapat Digolongkan Dalam Tiga Katagori :
• Individual : merupakan tindakan Sara yang dilakukan oleh individu maupun kelompok. Termasuk di dalam katagori ini adalah tindakan maupun pernyataan yang bersifat menyerang, mengintimidasi, melecehkan dan menghina identitas diri maupun golongan.
• Institusional : merupakan tindakan Sara yang dilakukan oleh suatu institusi, termasuk negara, baik secara langsung maupun tidak langsung, sengaja atau tidak sengaja telah membuat peraturan diskriminatif dalam struktur organisasi maupun kebijakannya.
• Kultural : merupakan penyebaran mitos, tradisi dan ide-ide diskriminatif melalui struktur budaya masyarakat.
Keberagaman agama dan budaya diakui, namun masyarakat tidak dipupuk kemampuannya untuk hidup dalam perbedaan secara jernih, toleran, dan damai. Bhinneka Tunggal Ika lebih banyak dipahami secara simbolis melalui lambang-lambang kedaerahan, seperti baju tradisional, senjata adat, dan alat musik, yang ditonjolkan dalam berbagai acara kenegaraan dan wisata.
Di masa Orde Baru, persatuan dan kesatuan dijaga melalui kebijakan anti SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan) dalam tatanan politik yang sentralistik. Orde Baru menyebut Pancasila sebagai “ideologi bukan ini, bukan itu”, terus menjadikannya sebagai “ideologi yang bukan-bukan”. Penguasa sering mencap “anti Pancasila” terhadap pihak-pihak yang mengkritisi dan menentang kekuasaannya. Kategori ekstrim kiri dan ekstrim kanan diberlakukan.
Akar konflik.
Selain latar belakang SARA, hal lainnya yang menarik disimak dari tulisan Prasetyo ialah ilustrasi akar pohon yang menggambarkan keberadaan konflik di tiga zaman pemerintahan Indonesia: Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi.
Konflik Laten
> Konflik disembunyikan
> Sumber konflik direpresi
Konflik terbuka
> konflik dibiarkan
> Sumber konflik tak disentuh

Nah, sekarang kita bisa tahu bahwa sejatinya SARA itu adalah warisan aset dari masa pemerintahan sejak zaman Orde Lama. Dikelola di Orde Baru. Dan tetap bersemayam di era reformasi. Namu, kalau menggali ke akar yang lebih dalam, konflik ini sendiri merupakan bentuk agenda politik penjajah Belanda dalam memecah belah bangsa kita.
Contoh :
PERAN TOKOH AGAMA DALAM MENCEGAH DAN MENGATASI KONFLIK HORIZONTAL BERNUANSA SARA (Suku, Agama, Ras & Antar golongan)
Dari berbagai diskusi dan pendapat para pakar konflik dinyatakan bahwa akar konflik atau kekerasan yang ada di tanah air ini dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu konflik horizontal dan konflik vertikal. Konflik horizontal adalah konflik antar sesama masyarakat (seperti garis horizontal yang sejajar), sedangkan konflik vertikal adalah konflik antara pengusa dan rakyat/masyarakat (seperti garis vertikal yang tegak lurus). Kedua akar konflik tersebut setidaknya bersumber dari banyak muara yakni masalah-masalah social yang melatarbelakanginya seperti ketidakadilan, kemiskinan, kesenjangan sosial, konflik agama dan etnis serta perbedaan pandangan politik Dan konflik horizontal dan vertikal, saling memberikan amunisi. Ketika konflik horizontal terjadi, konflik vertikal memberikan api. Dan saat konflik horizontal terjadi, elit-elit memanfaatkannya, demikian seterusnya.
Namun konflik horizontal yang ada di Indonesia sering disebabkan dan bernuanasa SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar golongan). Hal itu disebabkan oleh kondisi masyarakat Indonesia yang heterogen dan pluralis yang terdiri dari berbagai macam suku, agama, ras dan golongan. Contoh konflik antar suku seperti perang antar suku di papua beberapa bulan yang lalu. Konflik antar agama sebagaimana yang terjadi di Ambon dan Poso beberapa tahun yang lalu Islam Vs Kristen) atau antara umat satu agama seperti konflik antara NU dan HTI beberapa bulan lalu atau antara Islam dan Ahmadiyyah (jika Ahmadiyyah dianggap Islam seperti pengakuan para pengikutnya) atau antara Sunni dan Syi’ah. Konflik antar Ras, misalnya perang antara etnis Melayu dan Dayak di Sambas beberapa tahun lalu. Adapun contoh konflik antar golongan seperti tawuran dua desa di Jawa Barat atau di Nusa Tenggara. Dan masih banyak contoh lagi.
Dan baru-baru ini seperti diberitakan oleh http://www.suarapembaruan.com/News/2007/12/15 bahwa PGI (Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia) dan KWI (Konferensi Waligereja Indonesia) melapor ke Komnas HAM, tercatat 108 kasus penutupan, penyerangan dan pengrusakan gereja terjadi sejak 2004-2007. Dengan rinciannya, pada tahun 2004 terdapat 30 kasus, 2005 ada 39 kasus, 2006 ada 17 kasus dan 2007 ada 22 kasus. Adapun provinsi yang terbanyak terjadi kasus-kasus tersebut adalah Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Poso dan Bengkulu.
Atau konflik-konflik yang terjadi karena kristenisasi dan pemurtadan di Indonesia sejak zaman penjajahan sampai sekarang dan yang sempat ramai adalah kasus kristenisasi di Padang Sumbar pada tahun 1999. Belum lagi konflik sebab penistaan suatu agama seperti yang terjadi di Batu beberapa bulan lalu.


sumber:
http://blog.uin-malang.ac.id/baraja/2011/03/12/peran-tokoh-agama-dalam-mencegah-dan-mengatasi-konflik-horizontal-bernuansa-sara-suku-agama-ras-antar-golongan/
http://artofbo.wordpress.com/2011/02/28/suku-agama-ras-antar-golongan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar