Sabtu, 27 Oktober 2012

GCG (Good Corporate Governance)



Etika dalam Bisnis

Etika sering dikaitkan dengan moral. Dalam bahasa latin Yunani Etika berasal dari kata A thikos yang diterjemahkan dengan” mores” yang berati kebiasaan. Aristoteles menyebutkan etika ini dalam bukunya “Ethique A nicomaque” sebagai “mores” yang juga berarti kebiasaan. Kata moral ini mengacu pada baik dan buruknya manusia terkait dengan tindakan, sikap dan ucapannya.

Etika  bisnis adalah aplikasi pemahaman kita tentang apa yang baik dan benar untuk beragam institusi,  teknologi, transaksi , aktivitas dan usaha yang di sebut dengan bisnis. Etika bisnis berarrti bertumpu pada kesetiaan sikap etis dan komitmen moral untuk tidak berbuat curang, merugikan orang lain, Negara dan masyarakat, mengancam lingkungan serta kebudayaan  yang telah ada.

Runtuhnya ekonomi Indonesia pada tahun 1997 merupakan ledakan dari penyakit ekonomi yang mengabaikan etika dan good corporate governance dalam perekonomian. Sebelum krisis, perekonomian Indonesia dibangun Soeharto dengan konsep trickle down effect (menetes ke bawah) artinya  hanya membuka lebar akses kredit bagi pengusaha besar dan meneteskan segelintir kue untuk rakkyat (UKM). Kenyataan ini tidak memberikan keadilan kepada seluruh masyarakat. Kekayaan hanya bertumpu pada segelintir orang yakni keluarga cendana dan kroninya. Rakyat merasa ditindas dan diacuhkan hak-haknya. Maka tak heran ketika  krisis moneter melanda Indonesia lah yang terhempas paling keras dan hingga saat ini belum bisa bangkit.

Kebutuhan akan kondisi perekonomian yang stabil dan pro rakyat kecil merupakan dambaan dan impian bagi kebanyakan rakyat kini. Akan tetapi hingga saat ini kondisi itu baru dalam mimpi. Masyarakat Indonesia masih harus membenahi banyak lubang dari baju yang disebut reformasi. Pemerintah sebagai kekuatan yang mengatur sudah seharusnya memberikan keadilan dan pemerataan pendapatan bagi rakyatnya. Memberikan akses ekonomi bagi rakyat kecil untuk berusaha bukan hanya kepada korporat yang telah nyata-nyata merugikan Negara hingga saat ini tidak ada satu pun yang di adili.

Ada tiga keadilan dalam etika bisnis, menurut John Piers dna Nizam Jim (2007 :  53), yaitu :
Pertama, Distributive justice yakni adanya distribusi yang memadai dan adil dalam masyarakat. Artinya sumber daya yang ada di Negara ini adalah sepenuhnya milik rakyat Indonesia bukan milik segelintir orang. Maka tugas pemerintah untuk melakukan pemeratan, baik pendapatan, kesempatan berusaha, makanan , perumahan dan jaminan sosial.
Kedua, Retributive Justice. Keadilan ini adalah keadilan pada sisi hukum Artinya semua orang memiliki hak dan posisi yang sama di mata hukum. Siapapun yang melakukan kesalahan harus mendapatkan hukuman yang sesuai dengan undang-undang dan peraturan yang ada.
Ketiga, Compensatory Justice. Keadilan ini dimaksudkan bahwasannya semua orang berhak dihormati atas harta benda yang dimilikinya. Bila seseorang telah merugikan orang lain secara materi, maka orang tersebut wajib membayar kerugian tersebut.

Contoh Kasus
1.      Menyoal tentang penyuaapan konferensi Malta (1994) menegaskan bahwa yang dianggap dengan penyuapan adalah semua tindakan yang bersifat improbity atau dishonesty. Batasan itu tidak hanya melanggar hukum namun juga kepantasan atau improper.
Di Amerika, penyuapan dilarang didasarkan perundang-undangan “ Foreign Corrupt Practices Act/FCPA ” yang ditanda tangani oleh presiden Jimmy Carter ada tanggal 20 Desember 1977 dan menjatuhkan perkara ini sebagai perkara pidana. UU ini diterapkan pada kasus Lockhead Aircraft Corporation tahun 1972 yang melibatkan perdana menteri Jepang Tanaka.  Gambaran ini jarang kita jumpai di Indonesia.
2.      Korupsi dana BLBI yang menghilangkan uang Negara ratusan triliun rupiah, kasus bank mandiri, KPU , kasus jamsostek dan lain-lain hingga detik ini belum ada yang mendapatkan hukuman. Belum lagi kasus korupsi yang ada di dalam pemerintahan atau BUMN. Harian Kompas tanggal 27 Juli 2005 mencatatkan berdasarkan temuan Tim Investigasi Korupsi, korupsi yang terjadi di BUMN sebesar 2,2 triliun.
Saat ini pemerintah,  perusahaan swasta menyadari perlunya perbaikan nilai-nilai moral dan etika dalam organisasi dan praktik bisnis yang disebut dengan Good Corporate Governance. Good Corporate Governance mutlak diperlukan guna pembenahan secara internal dan structural untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, manipulasi dan nepotisme.Sedangkan pada sector bisnis Good Corporate Governance juga dapat menimalkan pelanggaran etika dan moral, peningkatan kinerja organisasi baik eksternal maupun internal.

Good Corporate Governance sebagai implikasi pelaksanaan etika dan moral
 
Good Corporate Governance dipahami sebagai kepemerintahan atau penyelenggaraan kepemerintahan atau organisasi yang bersih dan efektif sesuai dengan peraturan dan ketentuan yang berlaku. Good Corporate Governance meliputi political governance, economic governance seperti peningkatan dan pemerataan pendapatan, penciptaan kesejahteraan, penurunan angka kemiskinan dan pengangguran dan peningkatan kualitas hidup. Administrative governance meliputi tahapan admistrasi pemerintahan yang efisien, efektif dan bersih.
Prinsip-prinsip GCG yang ditetapkan oleh OECD mencakup hal-hal yaitu landasan hukum, hak pemegang saham dan fungsi pokok kepemilikan perusahaan, perlakuan adil terhadap pemilik saham, peranan stakeholder dalam penerapan GCG, prinsip transparansi dalam pengungkapan informasi mengenai perusahaan dan tanggungjawab managemen perusahaan.

Dari definisi atas pada prinsipnya Good Corporate Governance meliputi empat aspek yaitu akuntability, fairness (kewajaran), transparency dan responsibility. Penerapan etika dan GCG di dalam dunia bisnis dapat meningkatkan kinerja perusahaan dengan tetap menjalankan kewajaran dan tanggungjawab sosial, lingkungan dan hukum. Karena eksistensi perusahaan tidak hanya terkait dengan performa financial akan tetapi tak dapat dipungkiri responsibility social dan lingkungan hidup juga menambah value of the firm.

EVOLUSI GOOD CORPORATE GOVERNANCE

Pada tahun 1999, Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKCG) yang dibentuk
berdasarkan Keputusan Menko Ekuin Nomor: KEP/31/M.EKUIN/08/1999 telah mengeluarkan Pedoman Good Corporate Governance (GCG) yang pertama. Pedoman tersebut telah beberapa kali disempurnakan, terakhir pada tahun 2001. Berdasarkan pemikiran bahwa suatu sektor ekonomi tertentu cenderung memiliki karakteristik yang sama, maka pada awal tahun 2004 dikeluarkan Pedoman GCG Perbankan Indonesia dan pada awal tahun 2006 dikeluarkan Pedoman GCG Perasuransian Indonesia.
Sehubungan dengan pelaksanaan GCG, Pemerintah juga makin menyadari perlunya penerapan good governance di sektor publik, mengingat pelaksanaan GCG oleh dunia usaha tidak mungkin dapat diwujudkan tanpa adanya good public governance dan partisipasi masyarakat. Dengan latar belakang perkembangan tersebut, maka pada bulan November 2004, Pemerintah dengan Keputusan Menko Bidang Perekonomian Nomor: KEP/49/M.EKON/11/2004 telah menyetujui pembentukan Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) yang terdiri dari Sub-Komite Publik dan Sub-Komite Korporasi. Dengan telah dibentuknya KNKG, maka Keputusan Menko Ekuin Nomor: KEP/31/M.EKUIN/08/1999 tentang pembentukan KNKCG dinyatakan tidak berlaku lagi. 

Corporate Governance Modern
Cikal bakal corporate governance modern adalah apa yang dapat ditimba dari pengalaman skandal Watergate di Amerika Serikat. Sebagai hasil dari berbagai investigasi yang dilakukan oleh para penyidik, para legislator berkesimpulan bahwa rupanya terdapat tidak cukup pengawasan yang dilakukan oleh perusahaan untuk menghindari pemberian kontribusi politik ilegal dan penyuapan pegawai pemerintah federal.
Pengalaman ini menyebabkan penyempurnaan Foreign and Corrupt Practice Act tahun 1977. Ini kemudian diikuti dengan usulan Securities and Exchange Commision Amerika Serikat pada tahun 1979 untuk mengharuskan pelaporan keuangan internal. Pada tahun 1985, setelah terjadi kegagalan bisnis oleh perusahaan keuangan yang sangat terkenal yaitu Savings and Loan, terbentuklah Komisi Treadway.


TUJUAN GCG
GCG diperlukan dalam rangka:
1. Mendorong tercapainya kesinambungan perusahaan melalui pengelolaan yang didasarkan pada asas transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi serta kesetaraan dan kewajaran.
2. Mendorong pemberdayaan fungsi dan kemandirian masing-masing organ perusahaan, yaitu Dewan Komisaris, Direksi dan Rapat Umum Pemegang Saham.
3. Mendorong pemegang saham, anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi agar dalam
membuat keputusan dan menjalankan tindakannya dilandasi oleh nilai moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan.
4. Mendorong timbulnya kesadaran dan tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama di sekitar perusahaan.
5. Mengoptimalkan nilai perusahaan bagi pemegang saham dengan tetap memperhatikan pemangku kepentingan lainnya.
6. Meningkatkan daya saing perusahaan secara nasional maupun internasional, sehingga
meningkatkan kepercayaan pasar yang dapat mendorong arus investasi dan pertumbuhan
ekonomi nasional yang berkesinambungan.
FAKTOR-FAKTOR EKSTERNAL YANG MENDORONG IMPLEMENTASI GCG
  • Pelaku dan lingkungan bisnis
Meliputi seluruh entitas yang mempengaruhi pengelolaan perusahaan, seperti business community atau kelompok-kelompok yang signifikan mempengaruhi kelangsungan hidup perusahaan, serikat pekerja, mitra kerja, supplier dan pelanggan yang menuntut perusahaan mempraktekkan bisnis yang beretika. Kelompok-kelompok di atas dapat mempengaruhi jalannya perusahaan dengan derajat intensitas yang berbeda-beda.
  • Pemerintah dan regulator
Pemerintah dan badan regulasi berkepentingan untuk memastikan bahwa Perusahaan mengelola keuangan dengan benar dan mematuhi semua peraturan dan undang-undang agar memperoleh kepercayaan pasar dan investor.

  • Investor
Meliputi semua pihak yang berkaitan dengan pemegang saham dan pelaku perdagangan saham termasuk perusahaan investasi. Investor menuntut ditegakkannya atau dijaminnya pengelolaan perusahaan sesuai standar dan prinsip-prinsip etika bisnis.
  • Komunitas Keuangan
Meliputi semua pihak yang berkaitan dengan persyaratan pengelolaan keuangan perusahaan termasuk persyaratan pengelolaan perusahaan terbuka, seperti komunitas bursa efek, Bapepam-LK, US SEC dan Departemen Keuangan RI. Setiap komunitas di atas mengeluarkan standar pengelolaan keuangan perusahaan dan menuntut untuk dipatuhi/dipenuhi oleh Perusahaan.

CONTOH KASUS BAD CORPORATE GOVERNANCE
Beberapa kasus berikut ini merupakan penyimpangan dari prinsip-prinsip good corporate governance di Indonesia.

(1) Penggunaan perusahaan sebagai vehicle untuk mengumpulkan dana murah. Pada tahun 1998 sebuah perusahaan tercatat membeli piutang dari pihak afiliasi (anjak piutang) sehingga saldo anjak piutang meningkat 237% menjadi Rp 709 milyar. Jumlah tersebut merupakan 68,77% dari total aset perusahaan. Pada akhir tahun buku 1998, seluruh piutang pihak afiliasi tersebut dibebankan ke penyisihan tak tertagih. Diindikasikan bahwa perusahaan hanya dijadikan vehicle bagi afiliasi untuk memperoleh dana murah atas beban perusahaan. Sebagai akibatnya, pemegang saham publik harus menanggung kerugian karena perusahaan mengalami kesulitan cash-flow dan kinerja keuangan menjadi buruk sehingga perusahaan tidak dapat membayar dividen. Praktik tersebut dapat terjadi karena pemilik perusahaan afiliasi merupakan pemegang saham mayoritas sehingga semua praktis semua keputusan telah mendapatkan persetujuan RUPS. Dalam kasus ini asas akuntabilitas dan fairness kepada pemegang saham minoritas dilanggar.

(2) Ketidakterbukaan atas informasi rencana bisnis penting. Sebuah perusahaan tercatat tidak mempublikasikan rencana akuisisi perusahaan afiliasi dan tidak mengumumkan kepada publik bahwa perusahaan telah menghentikan aktivitas produksi serta hanya tinggal melakukan penjualan persediaan. Di samping itu perusahaan tersebut juga tidak mempublikasikan rencana untuk mengubah bidang usaha. Perusahaan tidak memberikan penjelasan mengenai penempatan dana yang jumlahnya material (22% dari total aset) pada pihak lain. Akibat yang harus ditanggung oleh pemegang saham publik adalah bahwa pemegang saham publik melakukan investasi dengan informasi yang tidak memadai tentang perusahaan. Laporan keuangan yang tidak memberikan informasi yang memungkinkan investor menilai kualitas aset perusahaan. Pemegang saham akan "tertipu" dengan tingginya jumlah total aset perusahaan karena tidak ada pengungkapan informasi mengenai kolektibilitas penempatan aset di perusahaan afiliasi tersebut.

(3) Penggunaan nama perusahaan untuk mendapatkan pinjaman pribadi. Direktur Utama sebuah perusahaan melakukan pinjaman tanpa jaminan kepada kreditur asing dengan menggunakan nama perusahaan. Akan tetapi dana pinjaman tersebut tidak diterima oleh perusahaan. Anggota Direksi lainnya meskipun mengetahui adanya transaksi tersebut ternyata tidak melaporkan kepada akuntan publik mengenai transaksi tersebut. Akibatnya adalah bahwa laporan keuangan yang disampaikan kepada publik menjadi misleading karena tidak memuat informasi yang benar. Pihak kreditur dapat mengajukan gugatan penyitaan kepada perusahaan apabila pinjaman tersebut tidak dapat diservice.

REFERENSI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar