Etika dalam Bisnis
Etika
sering dikaitkan dengan moral. Dalam bahasa latin Yunani Etika berasal dari
kata A thikos yang diterjemahkan dengan” mores” yang berati kebiasaan.
Aristoteles menyebutkan etika ini dalam bukunya “Ethique A nicomaque” sebagai
“mores” yang juga berarti kebiasaan. Kata moral ini mengacu pada baik dan
buruknya manusia terkait dengan tindakan, sikap dan ucapannya.
Etika
bisnis adalah aplikasi pemahaman kita tentang apa yang baik dan benar untuk
beragam institusi, teknologi, transaksi , aktivitas dan usaha yang di
sebut dengan bisnis. Etika bisnis berarrti bertumpu pada kesetiaan sikap etis
dan komitmen moral untuk tidak berbuat curang, merugikan orang lain, Negara dan
masyarakat, mengancam lingkungan serta kebudayaan yang telah ada.
Runtuhnya
ekonomi Indonesia pada tahun 1997 merupakan ledakan dari penyakit ekonomi yang
mengabaikan etika dan good corporate governance dalam perekonomian.
Sebelum krisis, perekonomian Indonesia dibangun Soeharto dengan konsep trickle
down effect (menetes ke bawah) artinya hanya membuka lebar akses
kredit bagi pengusaha besar dan meneteskan segelintir kue untuk rakkyat (UKM).
Kenyataan ini tidak memberikan keadilan kepada seluruh masyarakat. Kekayaan
hanya bertumpu pada segelintir orang yakni keluarga cendana dan kroninya.
Rakyat merasa ditindas dan diacuhkan hak-haknya. Maka tak heran ketika
krisis moneter melanda Indonesia lah yang terhempas paling keras dan hingga
saat ini belum bisa bangkit.
Kebutuhan
akan kondisi perekonomian yang stabil dan pro rakyat kecil merupakan dambaan
dan impian bagi kebanyakan rakyat kini. Akan tetapi hingga saat ini kondisi itu
baru dalam mimpi. Masyarakat Indonesia masih harus membenahi banyak lubang dari
baju yang disebut reformasi. Pemerintah sebagai kekuatan yang mengatur sudah
seharusnya memberikan keadilan dan pemerataan pendapatan bagi rakyatnya.
Memberikan akses ekonomi bagi rakyat kecil untuk berusaha bukan hanya kepada
korporat yang telah nyata-nyata merugikan Negara hingga saat ini tidak ada satu
pun yang di adili.
Ada tiga keadilan dalam etika
bisnis, menurut John Piers dna Nizam Jim (2007 : 53), yaitu :
Pertama,
Distributive justice yakni adanya distribusi yang memadai dan adil dalam
masyarakat. Artinya sumber daya yang ada di Negara ini adalah sepenuhnya milik
rakyat Indonesia bukan milik segelintir orang. Maka tugas pemerintah untuk
melakukan pemeratan, baik pendapatan, kesempatan berusaha, makanan , perumahan
dan jaminan sosial.
Kedua,
Retributive Justice. Keadilan ini adalah keadilan pada sisi hukum
Artinya semua orang memiliki hak dan posisi yang sama di mata hukum. Siapapun
yang melakukan kesalahan harus mendapatkan hukuman yang sesuai dengan
undang-undang dan peraturan yang ada.
Ketiga,
Compensatory Justice. Keadilan ini dimaksudkan bahwasannya semua orang
berhak dihormati atas harta benda yang dimilikinya. Bila seseorang telah
merugikan orang lain secara materi, maka orang tersebut wajib membayar kerugian
tersebut.
Contoh Kasus
1.
Menyoal tentang penyuaapan
konferensi Malta (1994) menegaskan bahwa yang dianggap dengan penyuapan adalah
semua tindakan yang bersifat improbity atau dishonesty. Batasan
itu tidak hanya melanggar hukum namun juga kepantasan atau improper.
Di Amerika, penyuapan dilarang didasarkan perundang-undangan
“ Foreign Corrupt Practices Act/FCPA ” yang ditanda tangani oleh
presiden Jimmy Carter ada tanggal 20 Desember 1977 dan menjatuhkan perkara ini
sebagai perkara pidana. UU ini diterapkan pada kasus Lockhead Aircraft
Corporation tahun 1972 yang melibatkan perdana menteri Jepang Tanaka. Gambaran
ini jarang kita jumpai di Indonesia.
2.
Korupsi dana BLBI yang menghilangkan
uang Negara ratusan triliun rupiah, kasus bank mandiri, KPU , kasus jamsostek
dan lain-lain hingga detik ini belum ada yang mendapatkan hukuman. Belum lagi
kasus korupsi yang ada di dalam pemerintahan atau BUMN. Harian Kompas tanggal
27 Juli 2005 mencatatkan berdasarkan temuan Tim Investigasi Korupsi, korupsi
yang terjadi di BUMN sebesar 2,2 triliun.
Saat
ini pemerintah, perusahaan swasta menyadari perlunya perbaikan
nilai-nilai moral dan etika dalam organisasi dan praktik bisnis yang disebut
dengan Good Corporate Governance. Good Corporate Governance
mutlak diperlukan guna pembenahan secara internal dan structural untuk
mewujudkan pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, manipulasi dan
nepotisme.Sedangkan pada sector bisnis Good Corporate Governance juga
dapat menimalkan pelanggaran etika dan moral, peningkatan kinerja organisasi
baik eksternal maupun internal.
Good
Corporate Governance sebagai
implikasi pelaksanaan etika dan moral
Good
Corporate Governance dipahami sebagai kepemerintahan
atau penyelenggaraan kepemerintahan atau organisasi yang bersih dan efektif
sesuai dengan peraturan dan ketentuan yang berlaku. Good Corporate
Governance meliputi political governance, economic governance seperti
peningkatan dan pemerataan pendapatan, penciptaan kesejahteraan, penurunan
angka kemiskinan dan pengangguran dan peningkatan kualitas hidup.
Administrative governance meliputi tahapan admistrasi pemerintahan yang
efisien, efektif dan bersih.
Prinsip-prinsip
GCG yang ditetapkan oleh OECD mencakup hal-hal yaitu landasan hukum, hak
pemegang saham dan fungsi pokok kepemilikan perusahaan, perlakuan adil terhadap
pemilik saham, peranan stakeholder dalam penerapan GCG, prinsip
transparansi dalam pengungkapan informasi mengenai perusahaan dan tanggungjawab
managemen perusahaan.
Dari
definisi atas pada prinsipnya Good Corporate Governance meliputi empat
aspek yaitu akuntability, fairness (kewajaran), transparency dan
responsibility. Penerapan etika dan GCG di dalam dunia bisnis dapat
meningkatkan kinerja perusahaan dengan tetap menjalankan kewajaran dan
tanggungjawab sosial, lingkungan dan hukum. Karena eksistensi perusahaan tidak
hanya terkait dengan performa financial akan tetapi tak dapat dipungkiri
responsibility social dan lingkungan hidup juga menambah value of the firm.
EVOLUSI GOOD CORPORATE GOVERNANCE
Pada tahun 1999, Komite Nasional Kebijakan Corporate
Governance (KNKCG) yang dibentuk
berdasarkan Keputusan Menko Ekuin Nomor: KEP/31/M.EKUIN/08/1999 telah mengeluarkan Pedoman Good Corporate Governance (GCG) yang pertama. Pedoman tersebut telah beberapa kali disempurnakan, terakhir pada tahun 2001. Berdasarkan pemikiran bahwa suatu sektor ekonomi tertentu cenderung memiliki karakteristik yang sama, maka pada awal tahun 2004 dikeluarkan Pedoman GCG Perbankan Indonesia dan pada awal tahun 2006 dikeluarkan Pedoman GCG Perasuransian Indonesia.
berdasarkan Keputusan Menko Ekuin Nomor: KEP/31/M.EKUIN/08/1999 telah mengeluarkan Pedoman Good Corporate Governance (GCG) yang pertama. Pedoman tersebut telah beberapa kali disempurnakan, terakhir pada tahun 2001. Berdasarkan pemikiran bahwa suatu sektor ekonomi tertentu cenderung memiliki karakteristik yang sama, maka pada awal tahun 2004 dikeluarkan Pedoman GCG Perbankan Indonesia dan pada awal tahun 2006 dikeluarkan Pedoman GCG Perasuransian Indonesia.
Sehubungan dengan pelaksanaan GCG, Pemerintah juga makin
menyadari perlunya penerapan good governance di sektor publik, mengingat
pelaksanaan GCG oleh dunia usaha tidak mungkin dapat diwujudkan tanpa adanya
good public governance dan partisipasi masyarakat. Dengan latar belakang
perkembangan tersebut, maka pada bulan November 2004, Pemerintah dengan Keputusan
Menko Bidang Perekonomian Nomor: KEP/49/M.EKON/11/2004 telah menyetujui
pembentukan Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) yang terdiri dari
Sub-Komite Publik dan Sub-Komite Korporasi. Dengan telah dibentuknya KNKG, maka
Keputusan Menko Ekuin Nomor: KEP/31/M.EKUIN/08/1999 tentang pembentukan KNKCG
dinyatakan tidak berlaku lagi.
Corporate Governance Modern
Cikal bakal corporate governance modern adalah apa yang
dapat ditimba dari pengalaman skandal Watergate di Amerika Serikat. Sebagai
hasil dari berbagai investigasi yang dilakukan oleh para penyidik, para
legislator berkesimpulan bahwa rupanya terdapat tidak cukup pengawasan yang
dilakukan oleh perusahaan untuk menghindari pemberian kontribusi politik ilegal
dan penyuapan pegawai pemerintah federal.
Pengalaman ini menyebabkan penyempurnaan Foreign and
Corrupt Practice Act tahun 1977. Ini kemudian diikuti dengan usulan Securities
and Exchange Commision Amerika Serikat pada tahun 1979 untuk mengharuskan
pelaporan keuangan internal. Pada tahun 1985, setelah terjadi kegagalan bisnis
oleh perusahaan keuangan yang sangat terkenal yaitu Savings and Loan,
terbentuklah Komisi Treadway.
TUJUAN GCG
GCG diperlukan dalam rangka:
1. Mendorong
tercapainya kesinambungan perusahaan melalui pengelolaan yang didasarkan pada
asas transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi serta
kesetaraan dan kewajaran.
2. Mendorong
pemberdayaan fungsi dan kemandirian masing-masing organ perusahaan, yaitu Dewan
Komisaris, Direksi dan Rapat Umum Pemegang Saham.
3. Mendorong
pemegang saham, anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi agar dalam
membuat keputusan dan menjalankan tindakannya dilandasi oleh nilai moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan.
membuat keputusan dan menjalankan tindakannya dilandasi oleh nilai moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan.
4. Mendorong
timbulnya kesadaran dan tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat
dan kelestarian lingkungan terutama di sekitar perusahaan.
5.
Mengoptimalkan nilai perusahaan bagi pemegang saham dengan tetap memperhatikan
pemangku kepentingan lainnya.
6. Meningkatkan
daya saing perusahaan secara nasional maupun internasional, sehingga
meningkatkan kepercayaan pasar yang dapat mendorong arus investasi dan pertumbuhan
ekonomi nasional yang berkesinambungan.
meningkatkan kepercayaan pasar yang dapat mendorong arus investasi dan pertumbuhan
ekonomi nasional yang berkesinambungan.
FAKTOR-FAKTOR EKSTERNAL YANG MENDORONG IMPLEMENTASI GCG
- Pelaku dan lingkungan bisnis
Meliputi seluruh entitas yang
mempengaruhi pengelolaan perusahaan, seperti business community atau
kelompok-kelompok yang signifikan mempengaruhi kelangsungan hidup perusahaan,
serikat pekerja, mitra kerja, supplier dan pelanggan yang menuntut perusahaan
mempraktekkan bisnis yang beretika. Kelompok-kelompok di atas dapat
mempengaruhi jalannya perusahaan dengan derajat intensitas yang berbeda-beda.
- Pemerintah dan regulator
Pemerintah dan badan regulasi
berkepentingan untuk memastikan bahwa Perusahaan mengelola keuangan dengan
benar dan mematuhi semua peraturan dan undang-undang agar memperoleh kepercayaan
pasar dan investor.
- Investor
Meliputi semua pihak yang berkaitan
dengan pemegang saham dan pelaku perdagangan saham termasuk perusahaan
investasi. Investor menuntut ditegakkannya atau dijaminnya pengelolaan
perusahaan sesuai standar dan prinsip-prinsip etika bisnis.
- Komunitas Keuangan
Meliputi semua pihak yang berkaitan
dengan persyaratan pengelolaan keuangan perusahaan termasuk persyaratan pengelolaan
perusahaan terbuka, seperti komunitas bursa efek, Bapepam-LK, US SEC dan
Departemen Keuangan RI. Setiap komunitas di atas mengeluarkan standar
pengelolaan keuangan perusahaan dan menuntut untuk dipatuhi/dipenuhi oleh
Perusahaan.
CONTOH KASUS BAD CORPORATE GOVERNANCE
Beberapa kasus berikut ini merupakan penyimpangan dari
prinsip-prinsip good corporate governance di Indonesia.
(1) Penggunaan
perusahaan sebagai vehicle untuk mengumpulkan dana murah. Pada tahun
1998 sebuah perusahaan tercatat membeli piutang dari pihak afiliasi (anjak
piutang) sehingga saldo anjak piutang meningkat 237% menjadi Rp 709 milyar.
Jumlah tersebut merupakan 68,77% dari total aset perusahaan. Pada akhir tahun
buku 1998, seluruh piutang pihak afiliasi tersebut dibebankan ke penyisihan tak
tertagih. Diindikasikan bahwa perusahaan hanya dijadikan vehicle bagi
afiliasi untuk memperoleh dana murah atas beban perusahaan. Sebagai akibatnya,
pemegang saham publik harus menanggung kerugian karena perusahaan mengalami
kesulitan cash-flow dan kinerja keuangan menjadi buruk sehingga
perusahaan tidak dapat membayar dividen. Praktik tersebut dapat terjadi karena
pemilik perusahaan afiliasi merupakan pemegang saham mayoritas sehingga semua
praktis semua keputusan telah mendapatkan persetujuan RUPS. Dalam kasus ini
asas akuntabilitas dan fairness kepada pemegang saham minoritas
dilanggar.
(2) Ketidakterbukaan
atas informasi rencana bisnis penting. Sebuah perusahaan tercatat tidak
mempublikasikan rencana akuisisi perusahaan afiliasi dan tidak mengumumkan
kepada publik bahwa perusahaan telah menghentikan aktivitas produksi serta
hanya tinggal melakukan penjualan persediaan. Di samping itu perusahaan
tersebut juga tidak mempublikasikan rencana untuk mengubah bidang usaha.
Perusahaan tidak memberikan penjelasan mengenai penempatan dana yang jumlahnya
material (22% dari total aset) pada pihak lain. Akibat yang harus ditanggung
oleh pemegang saham publik adalah bahwa pemegang saham publik melakukan
investasi dengan informasi yang tidak memadai tentang perusahaan. Laporan
keuangan yang tidak memberikan informasi yang memungkinkan investor menilai
kualitas aset perusahaan. Pemegang saham akan "tertipu" dengan
tingginya jumlah total aset perusahaan karena tidak ada pengungkapan informasi
mengenai kolektibilitas penempatan aset di perusahaan afiliasi tersebut.
(3) Penggunaan
nama perusahaan untuk mendapatkan pinjaman pribadi. Direktur Utama sebuah
perusahaan melakukan pinjaman tanpa jaminan kepada kreditur asing dengan
menggunakan nama perusahaan. Akan tetapi dana pinjaman tersebut tidak diterima
oleh perusahaan. Anggota Direksi lainnya meskipun mengetahui adanya transaksi
tersebut ternyata tidak melaporkan kepada akuntan publik mengenai transaksi
tersebut. Akibatnya adalah bahwa laporan keuangan yang disampaikan kepada
publik menjadi misleading karena tidak memuat informasi yang benar.
Pihak kreditur dapat mengajukan gugatan penyitaan kepada perusahaan apabila
pinjaman tersebut tidak dapat diservice.
REFERENSI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar